ISD 8 : Prasangka diskriminasi dan etnosentrisme
PENDAHULUAN
Prasangka
berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek
tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang
sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian
tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras.
Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak
terpengaruh oleh alasan rasional
John E. Farley
mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori :
Prasangka
kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
Prasangka
afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
Prasangka
konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Beberapa jenis
diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat tidak
disetujui.
Terkadang
Prasangka-prasangka yang berlebihan akan membuat suatu masyarakat terpecah
menjadi kelompok. Kelompok-kelompok ini terjadi akibat dari prasangka yang
berlebihan terhadap kelompok lainnya akibat prasangka yang menyebabkan
Diskriminasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Diskriminasi dapat diartikan
sebagai pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia. Dalam pengertian
tersebut ada 1 kata penting yaitu pembedaan. Jika kita kaitkan dengan istilah
prasangka, Diskriminasi merupakan puncak dari Prasangka, dalam artian bahwa
Prasangka yang berlebihan akan membuat Diskriminasi.
Tentunya akibat
diskriminasi ini akan menyebabkan masyarakat menjadi berkelompok-kelompok.
Apabila Prasangka dan Diskriminasi sangat besar pada masyarakat akan
menghasilkan perpecahan sehingga dalam masyarakat nantinya akan melebihkan atau
mempercayai kelompoknya masing-masing hal ini kita kenal dengan istilah
Etnosentrisme. Etnosentrisme ini merupakan suatu yang sangat berbahaya dalam
masyarakat karena etnosentrisme ini akan menciptakan perpecahan yang berkibat
fatal dalam masyarakat. Paling fatal dalam masyarakat akibat sikap
etnosentrisme yang berlebihan adalah konflik yang berkepanjangan, karena tidak
ada salah satu kelompok yang mau bekerjasama dan mempercayai kelompok lainnya.
Prasangka,
Diskriminasi, dan Etnosentrisme merupakan 3 hal yang sebaiknya tidak ada dalam
masyarakat karena ketiga ini merupakan sesuatu yang membuat sebuah percikan
konflik yang dapat berkepanjangan seperti dibeberapa negara yang ada di wilayah
afrika dan timur tengah, akhirnya merugikan banyak pihak. Walaupun demikian ada
satu hal yang masih diperkenankan kita miliki, yaitu prasangka. Kita harus
memiliki prasangka pada orang lain, hal ini tentunya agar kita selalu bersikap
awas pada orang lain terlebih yang belum kita kenal
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka ini sebagian bear sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.
Sebab-sebab timbulnya prasangka dan
diskriminasi :
1.
berlatar
belakang sejarah
2.
dilatar-belakangi
oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional
3.
bersumber
dari factor kepribadian
4.
berlatang
belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
Usaha-usaha mengurangi/menghilangkan
prasangka dan diskriminai
1.
Perbaikan
kondisi sosial ekonomi
2.
Perluasan
kesempatan belajar
3.
Sikap
terbuka dan sikap lapang
Sikap menurut morgan
(1966) adalah kecenderungan untuk berespon, baik secara positif maupun negatif, terhadap orang, obyek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini
meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah laku.
Sikap mempunyai
komponen-komponen, yaitu :
a.
kognitif : artinya memiliki pengetahuan mengenai objek
sikapnya terlepas pengetahuan itu benar atau salah
b. Afektif: artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai
evaluasi emosinal (setuju-tidak setuju) mengenai objeknya
Konatif: artinya kecenderungan bertingkah laku
bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan
sosialisasi) samapai pada yang aktif (tindakan menyerang)
CONTOH KASUS
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya
untuk memberikan akses yang lebih luas bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya dikriminasi.
Termasuk diskriminasi ketika melakukan pemeriksaan kesehatan, diskriminasi
tersebut salah satunya dilakukan oleh para dokter.
Pemerintah
Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk memberikan akses yang lebih luas
bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk akses yang lebih luas dalam bidang
kesehatan. Hal ini untuk menghindari terjadinya diskriminasi terhadap para ODHA
di Indonesia. Namun, dalam implementasinya para ODHA hingga kini masih
merasakan terjadinya diskriminasi tersebut.
Asisten Sekjen
Komunitas ODHA Bali (KOBA) Yurike Ferdinandus pada keteranganya di Denpasar
Bali pada Senin sore mengungkapkan, diskriminasi dalam memperoleh akses
kesehatan saat ini justru lebih sering dilakukan oleh para tenaga kesehatan.
Bahkan beberapa tenaga kesehatan secara terang-terangan menolak memberikan
pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang ditangani positif HIV/AIDS.
Yurike
Ferdinandus mengatakan, “Itu kenyataan yang ada itu, ya paling 50 persen baru
bisa berjalan, kalau orang itu memang benar-benar tahu benar penderita HIV itu
seperti apa, barulah dia mau care, tapi kalau tidak lempar sana, lempar sini.”
Yurike
menyatakan penanggulangan AIDS selama ini juga cendrung bersifat proyek dan
bukan program penanggulangan yang bersifat berkelanjutan. Apalagi sering sekali
program penanggulangan AIDS oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) memanfaatkan
jasa LSM.
“Kadang-kadang
tidak tepat guna, saya rasakan sendiri, ini LSM paling yang dihubungi ABCDE
padahal yang diluar sana ada FJHI lagi , karena yang terjangkau hanya ABCDE
yang kalau ada program lagi masuk ke LSM ya , yang dapat hanya ABCDE saja,”
papar Yurike lagi.
Sedangkan Ketua
Pokja Humas KPA Bali Prof. Mangku Karmaya mengakui banyak kendala dalam
implementasi mewujudkan akses kesehatan universal bagi ODHA di lapangan.
Mengingat jumlah tenaga medis yang paham tentang HIV/AIDS juga masih terbatas
Mangku Karmaya
menjelaskan, “Masih banyak hambatan ini ya, kita butuh tenaga yang khusus
tentang penyakit kelamin, kalau di puskesmas-puskesmas harus ada paling tidak
itu, meskipun kita sudah punya prosedur untuk pemeriksaan sederhana.”
Berdasarkan data
KPA Bali jumlah kasus HIV/AIDS di Bali kini telah mencapai 4.300 kasus.
Sementara peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS kini menjadi ancaman bagi
pencapaian target Millenium Development Gools (MDGS) atau target pembagunan
millennium pada 2015.
(sumber: VOA News)
http://www.odhaberhaksehat.org/2011/penderita-hivaids-di-indonesia-masih-alami-diskriminasi-akses-kesehatan/
PENDAPAT PRIBADI
PENDAPAT PRIBADI
Dari contoh
kasus diatas, diskriminasi bisa terjadi oleh para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS).
Mereka bahkan mendapatkan diskriminasi justru dari tenaga medis itu sendiri.
Apabila pasien yang mereka periksa ternyata pengidap HIV/AIDS, mereka cenderung
enggan untuk melanjutkan pemeriksaan kesehatan. Alasan takut tertular mungkin
salah satunya, padahal hanya hal-hal tertentu saja yang menyebabkan seseorang
bisa tertular. Para ODHA itu tidak bisa didiskriminasi secara ilmu kesehatan
saja, belum lagi masyarakat luas yang cenderung enggan untuk bergaul secara
sosial dengan ODHA.