I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 03 Mei 2011

Paradigma Pancasila (1)

A.   Pengertian Paradigma
Istilah paradigm awalnya berkembang dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminology tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun. Paradigma adalah suatu asumsi asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, cirri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam masalah yang popular istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka piker, orientasi dasar, sumber asas, serta tujuan dari suatu pengembangan, perubahan, serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi, maupun dalam pendidikan.

B.   Pancasila sebagai paradigma dalam Pembangunan
Tujuan Negara tertuang dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut, “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, hal ini merupakan tujuan Negara hukum formal. Adapun rumusan “Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa” Hal ini merupakan tujuan Negara hukum material, yang secara keseluruhan merupakan tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau Internasional adalah “Ikut  melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Secara filosofis hakikat kedudukan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai pancasila. Karena nilai-nilai pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis manusia sebagai subyek pendukung Pancasila sekaligus sebagai subyek pendukung Negara. Unsur-unsur hakikat manusia monopluralis meliputi susunan kodrat manusia terdiri rohani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan YME.

C.   Pancasila sebagai paradigma dalam pengembangan IPTEK
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya adalah  suatu hasil kreatifitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi aspek: Akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika).
Tujuan yang esensial dari IPTEK adalah demi kesejahteraan umat manusia sehingga iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai.
Pengembangan IPTEK sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab..
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia dan sekitarnya.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan IPTEK harus bersifat beradab. IPTEK adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral.



D.   Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (silasila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).

E.   Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
·        Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·        Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·        Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
·        Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
·        Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
·        nilai toleransi;
·        nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
·        nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar